BLOG INI MASIH DALAM PENGEMBANGAN

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 25 Maret 2013

Pengetahuan Dasar Karate

Pemahaman dan Pengetahuan Dasar Karate di Dojo, Hal-hal penting  yang harus diketahui Karateka selama di Dojo.

Pengelompokan Karateka dalam berbagai level ditujukan agar dapat  mendorong para murid untuk berlatih dan menghindari kejenuhan dalam latihan. Pengelompokan tingkat Karateka tersebut umumnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.   Tingkat Kyu atau pemula ,mereka disebut Mudansha dan umumnya level ini dimulai dari bilangan besar (10 / 9) ke kecil (1/ 1) sebagai pembeda yang mengacu pada tingkat penguasaan akan substansi teknik dasar perguruannya. Penggunaan ikat pinggang dengan berbagai warna yang diadopsi oleh Gichin Funakoshi dari sistem Judō oleh Jigoro Kano lazim digunakan sampai saat ini sebagai pembeda tingkat, dan biasanya umumdimulai dengan warna putih bagi Kohai yang baru memulai  latihan.

b.    Tingkat Dan atau lanjutan / mahir , mereka disebut Yudansha  dan umumnya level ini di Shotokan dimulai dari bilangan kecil   ( 1 ) ke besar ( 9 / 10 ) sebagai pembeda yang lebih mengacu pada tingkat penguasaan jiwa lewat pemahaman teknik    berdasarkan substansi filosofi perguruannya.Warna ikat  pinggang yang paling umum dipakai adalah hitam (meskipun pada  beberapa ryu / aliran ada beberapa variasi warna yang dilakukan).Khusus  Yudansha ada banyak istilah yang lebih spesifik dalam hal  penyebutan nama, yaitu :

      i.  Sempai , berarti senior dalam bahasa Jepang.Umumnya di Shotokan  
        digunakan para Kohai untuk memanggil mereka yang memiliki jabatan  
        sebagai asisten pelatih/pelatih biasa dengan kualifikasi Kyu 3 ~ Dan 3.

      ii. Sensei , berarti guru dalam bahasa Jepang.Umumnya di Shotokan         
        digunakan untuk penyebutan Yudansha dengan kualifikasi Dan IV
        ~ V atau pelatih kepala.

      iii. Renshi , berarti guru ahli / utama dalam bahasa Jepang.Umumnya di 
         Shotokan digunakan untuk penyebutan Yudansha dengan kualifikasi  
         Dan  VI ~ VIII.Istilah lain adalah Dai Sensei atau Kyoshi.

      iv. Shihan , berarti guru besar / mahaguru dalam bahasa          
         Jepang.Umumnya  di Shotokan digunakan untuk penyebutan Yudansha  
         dengan  kualifikasi Dan IX ~ X . Istilah lain adalah  Hanshi.

     v. Beberapa varian lain untuk pemimpin tertinggi   perguruan dalam seni 
        beladiri Jepang adalah : Menkyo, Kaiden, Osho, Soke, Doshu, Taisho,
        Sosho, O Sensei, Kaiso, Shodai, Kaicho, Kancho, Meijin (lihat majalah
        Jurus no. : 07  tahun 1999, halaman 20-21)

2.   Sarana penunjang latihan ; yang dimaksud disini yaitu :

a.   Pakaian : pada awalnya di Okinawa tidak ada pakaian khusus untuk berlatih ilmu beladiri apapun , bahkan dalam beberapa foto dokumentasi dari abad 19 terlihat para praktisi ilmu beladiri hanya mengenakan celana saja tanpa baju. Baru setelah mereka berinteraksi dengan disiplin ilmu beladiri Jepang lainnya diawal abad 20 (dipelopori Gichin Funakoshi yang mengunjungi Dōjo Kodokan milik Jigoro Kano) hal tersebut dapat diseragamkan hingga kini dengan memodifikasi seragam Judō yang telah ada. Pakaian untuk berlatih ini disebut sebagai Karate-gi atau Dō-gi atau Keiko-gi, terdiri atas semacam jaket berlapis dua(Uwagi ) dan celana panjang longgar (Zubon) yang berwarna putih ; serta sebuah ikat pinggang tebal dari kain yang dijahit rangkap ( Obi ) yang dililitkan dua kali dan berwarna sesuai tingkatan yang dicapai penyandangnya (lihat pembahasan SubBab  diatas ! ).Bahan yang paling baik untuk digunakan adalah jenis kain kanvas yang tidak terlalu tebal seperti halnya bahan kanvas pada seragam Judō , namun memiliki daya tahan yang sama.Agaknya pakaian ini memang sangat berperan besar dalam perkembangan Karate keseluruh penjuru dunia, karena ia memiliki semacam keluwesan tersendiri sehingga terbukti bisa dengan mudah beradaptasi secara universal bagi para praktisi yang berasal dari belahan dunia manapun atau unsur etnis maupun religius apapun juga. Dewasa ini sesuai perkembangan mode dan teknologi pertekstilan telah banyak diciptakan karate-gi dengan model, bahan dan bahkan warna yang berbeda dengan model asli tradisional Jepang (terutama sekali terjadi pada Karate di Amerika & Eropa ). Namun bahan yang terbukti paling baik adalah yang berbahan dasar katun yang telah teruji dalam penyerapan keringat selama berlatih.Tercatat nama Tokaido sebagai salah satu perintis awal dan produsen karate-gi bermutu yang paling dikenal luas di dunia.

b.   Tempat : disebut Dōjo yang berarti “tempat untuk mempelajari” dalam bahasa Jepang, dan pada jaman lampau lebih mengacu pada arti “aula untuk bermeditasi dalam kuil”.Dalam sebuah Dōjo tradisonal di Jepang ada banyak aturan yang sangat mengikat dan penuh tatakrama lama, seperti penempatan altar danKamiza(tempat duduk khusus untuk guru) serta penggunaan Tatami (matrasdan Zori (sandal khusus dari kayu & jerami). Inilah agaknya hal yang mendasari kesakralan eksistensi sebuah Dōjo secara mistis religius bagi para penganut paham Karate Tradisional yang konservatif pada akar budaya Sino- Jepang ; suatu persepsi yang mendapat penentangan keras dari praktisi  Karate-dō di dunia Barat yang sangat anti pada sesuatu yang bersifat irasional & non-logika.Bahkan saat ini banyak para guru besar berpengaruh asal Jepang sendiri seperti Hirokazu Kanazawa dan Hitoshi Katsuya yang secara tegas berani menolak penerapan sistem Dōjo lama (Shiai-jo) tersebut.Bagaimanapun juga secara umum dewasa ini sebuah Dōjo sudah dapat dikatakan memenuhi syarat standar apabila memiliki luas yang cukup, berlantai datar, berdinding dengan ventilasi yang cukup dan memiliki atap yang agak tinggi.Tentunya hal diatas harus dibarengi dengan kebersihan dan kenyamanan serta beberapa sarana lain yang bersifat tambahan sesuai kebutuhan.

c.   Alat : tidak ada suatu jenis alat khusus apapun yang harus dipakai dalam sebuah latihan Karate . Penggunaan alat tradisional Jepang seperti Makiwara (semacam samsak) lebih dikarenakan faktor kebiasaan setempat . Terbukti kini sangat banyak model alat yang sangat sukses dipakai sebagai penunjang program latihan yang menekankan pada penerapan fungsi ilmu faal dan  anatomi tubuh secara tepat dengan inovasi yang berteknologi modern yang telah teruji.

3.   Program – program permanen ; yang dimaksudkan disini adalah rangkaian / proses kegiatan yang harus ada dan berlangsung secara berurutan dalam sebuah latihan Karate-do dalam Dōjo .Sesuai aslinya yang berdasarkan prinsip standar ajaran Budō (seni beladiri Jepang) maka minimal ada delapan buah proses wajib dalam sebuah latihan formal seni beladiri Karate-dō yang mana pemaparan proses – proses tersebut dijelaskan dengan urutan sebagai berikut di bawah ini :

a. Rei-Shiki /Upacara /Tradisi penghormatan pembuka
b. Taisō / Senam / Stretching pembuka
c. Kihon
d. Kata
e. Kumite
f. Mondo / Diskusi tentang materi latihan
g. Taisō penutup
h. Rei-Shiki penutup

A. Rei-Shiki pembuka dan penutup sama bentuknya, biasanya peserta duduk dengan posisi Sei-za Za-zen(di Jepang orang lebih mengutamakan posisi duduk “ala tukang jahit “ karena dianggap lebih sopan dibandingkan posisi duduk “ala bunga teratai”) dalam beberapa lajur sesuai tingkatan. Lalu diawali dengan pembacaan Dōjo-Kun Niju-Kun (diIndonesia diganti dengan Sumpah Karate), melaksanakan Mokuto(mengheningkan / mengonsentrasikan / merelaksasikan pikiran, bukan makuso / mokuso untuk pengucapannya ! )danterakhir melakukan Shomen-Ni-Rei (penghormatan terhadap yang ada di depan peserta Rei-Shiki, di Jepang hal ini mengacu pada Mufudakake / papan kayu kecil di dinding utama sebuah Dōjo yang berisikan nama – nama para pendiri / guru dari ryu tersebut. Di Indonesia hal ini diganti dengan bendera negara dan lambang perguruan).Semua proses itu dilakukan secara bersama – sama. Selanjutnya barulah dilakukan Sensei-Ni-Rei(penghormatankepada guru) , lalu Otagai-Ni-Rei (penghormatan terhadap sesama peserta Rei-Shiki) dan terakhir Dōjo-Ni-Rei(penghormatan kepada Dojo).Semua bagian Rei-Shiki ini dilakukan dengan posisi Za-Rei (penghormatan sambil duduk), diiringi pengucapan kata OSH yang merupakan salam resmi hampir semua perguruan Budō di Jepang.

B. Mondo ; arti sebenarnya adalah pertemuan resmi antara guru dengan para siswanya dalam sebuah Dōjo yang berasal dari tradisi kuno Zen (sekte utama agama Budha di Jepang).Disini dibahas lewat dialog maupun diskusi tentang pokok bahasan latihan yang telah diberikan. Pada tradisi aslinya para guru akan mengakhiri dengan sebuah Koan / frasa singkat yang tak memiliki arti logis namun lebih pada nilai filosofis.


Cara Melatih Pukulan Karate

Pada tingkat awal, jurus pertama yang diperkenalkan dalam Karate adalah Tsuki (pukulan). Cukup banyak jenis pukulan yang diajarkan, mulai dari pukulan lurus (choku tsuki) , Pukulan pisau tangan (Shuto Uchi), pukulan melebar U (Yama tsuki), pukulan tinju ke atas (Tate Tsuki) dan lain-lain. Jenis pukulan akan semakin bertambah banyak pada tingkatan selanjutnya. Dalam tahap pengenalan pukulan, hal pertama yang diajarkan pembimbing adalah bagaimana memukul dengan benar, dimulai dari cara menggenggam, perputaran gerakan, posisi tangan ketika memukul dan juga cara penyaluran tenaganya. Setelah bentuk dari pukulan benar maka masuk ketingkat berikutnya yaitu meningkatkan kekuatan, kecepatan serta ketepatan dalam mempergunakan pukulan dalam berjurus (KATA) maupun bertanding (KOMITE).

Melatih pukulan sebenarnya bukan sesuatu yang sulit, karena struktur tangan yang pendek dan sendi yang sangat elastik sehingga tidak memerlukan senam khusus untuk membuat tangan menjadi lentur, hal ini sangat berbeda ketika melatih tendangan karena perlu senam khusus untuk mendapatkan kelenturan. Beberapa hal 
penting ketika melatih pukulan adalah menggenggamlah dengan benar, karena sering sekali hal ini kurang diperhatikan. Jika anda terbiasa mengendurkan genggangam, sehingga tenaga lebih banyak terletak di lengan maupun di tungkai tangan. Bahaya lain dari kebiasaan tidak mengggenggam dengan baik adalah ketika memukul dalam turgul akan mengalami cidera, misalnya jari keseleo atau tangan bengkak karena tidak kuat menahan benturan. Tahap kedua setelah dapat melakukan pukulan dengan benar adalah melatih kekuatan. Sebagai alat tambahan untuk menambah kekuatan pukulan bisa juga dipakai:
1.  Sandsack, berupa target yang diisi dengan bubuk kayu atau potongan karet.
2.  Beras/gabah, pasir atau bahkan pasir panas, alat ini digunakan untuk tingkat lanjutan dengan
tujuan  untuk memperkuat jari tangan, sehingga ketika menggunakan jurus yang memerlukan cakar, jari, tapak dan lain-lain akan tetap dahsyat hasilnya. 
3.  Lilin yang juga bisa dijadikan target keberhasilan pukulan, pukullah lilin dari jarak sekitar 5 cm, apabila lilin padam maka pukulan kita sudah lumayan baik, dan untuk seterusnya tambahkan jarak pukulan dari lilin, dari 5cm, menjadi 7 cm, 10 cm dan seterusnya.

4. Kayu/papan (Makiwara), yaitu satu papan kayu berukuran 4 x 4 inci dengan panjang 8 kaki yang ditanam ke dalam tanah kira 3 s/d 4 kaki, dengan target menggunakan bantalan jerami, atau bantalan yg diisi busa padat dan dilapisi oleh kalaf atau kulit yang tebalnya sekitar 2 inci. Catatan: Seorang pemula dalam Karate sebaiknya berlatih memukul Makiwara, dari berbagai posisi (Seiken, uraken, hiji, shuto), minimal 100 kali perhari. Setelah tiga sampai enam bulan berlatih, sebaiknya ditingkatkan sampai rata-rata 300 kali perhari dengan berbagai posisi. Jika anda terus berlatih dengan cara ini setiap hari selama setahun, anda akan cukup kuat untuk memukul jatuh siapapun dengan mudah dengansatu pukulan. Latihan ini akan mengembangkan tenaga (power), kecepatan(speed) dan kekuatan (strength); bagaimanapun, ini hanyalah salah satu metode latihan dalam Karate. Cara ini telah lama dipakai oleh para Master-master Karate terdahulut erutama oleh Master Ginchin Funakoshi pendiri aliran karate shotokan, tetapi lain halnya dengan Master Masutatsu Oyama pendiri aliran Karate Kyokushinkai ia merasa latihan dengan menggunakan Makiwara adalah bukan suatu cara metoda latihan yang terbaik. 
Berikut adalah kutipan dari pernyataan Oyama dalam bukunya “ what is karate” terbitan tahun 1963:” Saya telah melakukan metode ini (memukul makiwara) untuk melatih kepalan tangan saya selama 20 tahun, memukul rata-rata300 kali perhari. Sebelumnya saya merasa sangat bangga dengan ukuran dan kekerasan dari ‚kapalan2’ yg terbentuk di kepalan saya, apalagi kapalan2 itudapat dipukul dengan palu tanpa saya merasa sakit. Ini adalah fakta bahwa, pukulan dari kepalan tangan saya sangatlah kuat sekali. Saya mengikuti metode2 tersebut karena „Master Karate“ terdahulu, berlatih dengan cara tersebut. Akhir2 ini, bagaimanapun, saya mulai percaya bahwa metode ini bukanlah yang terbaik, dan sebetulnya terbukti menghasilkan tenaga yang lebih sedikit dibandingkan metode2 lain. Saya percaya bahwa saya dapat menjadi seseorang yg jauh lebih kuat dari sekarang ini apabila saya mengadopsi metode2 yang lebih masuk akal dalam latihan. Sungguh, latihan memukul Makiwara berguna untuk memperkuat pergelangan dan kepalan; bagaimanapun, saya telah menemukan bahwa latihan dengan memukul sesuatu yang keras akan memperlambat pengembangan kecepatan. Saya tergerak untuk mengembangkan suatu metode latihan baru dimana bukannya Makiwara, melainkan sebuah spon tebal yang digunakan. 
Training dengan spon tidak hanya mengembangkan kekuatan pergelangan, tapi kecepatan akan meningkat pula. Metode yang sama dapat digunakan juga untuk latihan Tendangan. Cara lain untuk meningkatkan kecepatan adalah menusuk dan memukul dengan kepal tangan pada selembar kertas yang tergantung. Manfaat dari metode ini akan ditunjukkan lewat contoh berikut. Saya memilih dua orang murid, dan meminta salah satunya untuk berlatih dengan kertas yang digantung. Sementara murid lainnya berlatih dengan Makiwara dengan cara yang biasa. Setahun kemudian, saya membandingkan mereka. Murid yang berlatih dengan Makiwara, memang, nampak terlihat sebagai seorang Karateka sejati, dengan kapalan di kepalannya. Namun, dalam percobaan memecahkan genteng, batu dan papan, keduanya sama kuat. Keduanya berhasil memecahkan sepuluh buah genteng, batu dan papan dengan ketebalan yang sama. Dalam pandangan saya, murid yang berlatih dengan memukul kertas jauh lebih gesit dalam pergerakannya (body movement), dan tangannya lebih cepat, mengungguli murid yang satunya.
Diantara banyak orang yang berlatih karate, beberapa menganggap dirinya sebagai Karateka papan atas, hanya karena mereka mempunyai kepal tangan yang ada kapalannya, hasil latihan dengan Makiwara. Mereka bangga pada kekerasan kepalannya dan berusaha mengatur-atur yg lain dalam ber-Karate. Sedihnya, saya menemukan orang-orang tersebut, khususnya di Amerika.”

5.  Kertas yang digantung seperti yang dilakukan Master Masutatsu Oyama di atas.
Tahapan ketiga adalah melatih kecepatan, dalam tahap ini biasakan melatih pukulan dengan cara beruntun, dimulai dari dua kali beruntun , tiga kali dan semakin lama semakin banyak pukulan beruntun. Dalam tahap ini juga sudah mengkombinasikan sasaran pukulan maupun jenis pukulan, sasaran bawah tengah atas dan jenis pukulan lurus. Dengan cara melatih kecepatan dan variasi pukulan seperti ini maka lawan sulit untuk menghindar atau menangkis pukulan kita. Cara sederhana untuk melatih kecepatan pukulan adalah dengan cara push-up dengan genggaman di samping badan bukan di depan pundak, push up ini harus dilakukan dengan agak cepat layaknya melakukan pukulan pada posisi yang benar. Sebagai tambahan dan bisa juga dijadikan target keberhasilan pukulan, pukulah lilin dari jarak sekitar 5 cm, apabila lilin padam maka pukulan kita menjadi sudah lumayan baik, dan untuk seterusnya tambahkan jarak pukulan dari lilin, dari 5 cm, 7 cm, 10 cm dan seterusnya.


Sabtu, 09 Februari 2013

Janji Wasit

Kami Wasit dan Juri FORKI berjanji:

1. Akan memimpin pertandingan ini dengan penuh rasa tanggung jawab dengan menjunjung tinggi Sumpah Karate

2. Akan memimpin pertandingan ini dengan adil dan tidak akan memihak kepada siapapun demi peningkatan prestasi Karate.

 


Sumber: inkanas.org

Janji Atlet

Kami atlet FORKI berjanji:

1. Akan bertanding dengan sportivitas yang tinggi dan berjiwa Karate-Do dengan menjunjung sumpah Karate

2. Akan mematuhi segala peraturan yang telah dan akan ditetapkan oleh Dewan Wasit

3. Akan menerima semua keputusan Dewan Wasit dengan kebesaran jiwa seorang Karate-Ka

 

Sumber: inkanas.org

SUMPAH KARATE

SUMPAH KARATE

1. Sanggup memelihara kepribadian
2. Sanggup patuh pada kejujuran
3. Sanggup mempertinggi presati
4. Sanggup menjaga sopan santun
5. Sanggup menguasai diri

 Sumber: inkanas.org

Karate di Indonesia

Karate masuk di Indonesia bukan dibawa oleh Tentara Jepang, melainkan oleh Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kembali ke tanah air, setelah mereka menyelesaikan pendidikannya di Jepang. Tahun 1963 beberapa mahasiswa Indonesia antara lain; Baud Adikusumo, Muchtar dan Karyanto mendirikan Dojo di Jakarta. Mereka inilah yang mula-mula memperkenalkan Karate (aliran Shotokan) di Indonesia, dan kemudian mereka membentuk wadah yang mereka namakan PORKI. Beberapa tahun kemudian berdatangan eks Mahasiswa Indonesia dari Jepang seperti; Setyo Haryono (Pendiri Gojukai), Anton Lesiangi, Sabeth Muchsin dan Chairul Taman yang turut mengembangkan Karate di tanah air.

Disamping eks Mahasiswa-mahasiswa tersebut diatas orang-orang Jepang yang datang ke Indonesiadalam rangka usaha telah pula ikut memberikan warna bagi perkembangan Karate di Indonesia, mereka-mereka ini antara lain Matsusaki (Kushin-Ryu 1966), Ishi (Goju-Ryu 1969), Hayashi (Shitoryu 1971) dan Oyama (Kyokushinkai 1967).

Karate ternyata memperoleh banyak penggemar, yang implementasinya terlihat muncul dari berbagai macam organisasi (pengurus) Karate, dengan berbagai aliran seperti yang dianut oleh masing-masing pendiri perguruan. Banyaknya perguruan Karate dengan berbagai aliran menyebabkan terjadinya ketidak cocokan diantara para tokoh tersebut,sehingga menimbulkan perpecahan di dalam tubuh PORKI. Namun akhirnya dengan adanya kesepakatan dari para tokoh-tokoh Karate untuk kembali bersatu dalam upaya mengembangkan Karate di tanah air, sehingga pada tahun 1972 terbentuklah satu wadah organisasi Karate yang diberi nama FORKI (Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia). Walaupun dalam perjalanannya harus menghadapi berbagai rintangan dan hambatan.

Adapun mereka yang pernah menduduki jabatan sebagai Ketua Umum FORKI sejak tahun 1972 sampai dengan saat ini adalah:

1. Widjojo Sujono (1972-1977)
2. Sumadi (1977-1980)
3. Subhan Djajaatmaja (1980-1984)
4. Rudini (1984-1997)
5. Wiranto (1997-2001)
6. Luhut B. Pandjaitan (2001-sekarang) 


Sumber: inkanas.org

Sejarah Karate

Ilmu beladiri sebenarnya sudah dikenal semenjak manusia ada, hal ini dapat dilihat dari peninggalan purbakala antara lain; kapak-kapak batu, lukisan-lukisan binatang yang dibunuh dengan senjata seperti tombak dan panah.

Bela diri pada waktu itu hanya bersifat mempertahankan diri dari gangguan binatang buas dan alam sekitarnya. Namun sejak pertambahan penduduk dunia semakin meningkat, maka gangguan yang datang dari manusia mulai timbul sehingga keinginan orang untuk menekuni ilmu beladiri semakin meningkat.

Tersebutlah pada 4000 tahun yang lalu, setelah Sidharta Gautama pendiri Budha wafat, maka para pengikutnya mendapat amanat agar mengembangka agama Budha keseluruh dunia. Namun karena sulitnya medan yang dilalui, maka para pendeta diberikan bekal ilmu beladiri. Misi yang kearah barat ternyata mengembangkan ilmu "Pangkration" atau "Wrestling" di Yunani. Misi keagamaan yang berangkat kearah selatan mengembangkan semacam pencak silat yang kita kenal sekarang ini, salah satu misi yang ke Utara menjelajahi Cina menghasilkan Kungfu (belakangan di abad XII, Kungfu dibawa oleh pedagang Cina dan Kubilaikhan ke Negara Majapahit di Jawa Timur).

Dari Cina rombongan yang ke Korea menghasilkan beladiri yang kemudian kita kenal dengan Taekwondo. Dari Korea ternyata rombongan tidak dapat meneruskan perjalanan ke Jepang, tetapi berhenti hanya sampai Kepulauan Okinawa. Tidak berhasilnya masuknya rombongan ke Jepang, karena di Jepang saat itu sudah mengembangkan ilmu beladiri Jujitsu, Yudo, Kendo dan Ilmu Pedang (Kenjutsu). Namun sejarah mencatat bahwa pada tahun 1600an, Kerajaan Jepang telah menguasai Okinawa. Kerajaan Jepang telah memerintah Okinawa dengan tangan besi, penduduk dilarang memiliki senjata tajam, bahkan orang tua dilarang memakai tongkat, diam-diam bangsa yang terjajah ini mempelajari ilmu beladiri dengan tangan kosong yang waktu itu dikenal dengan nama TOTE. Dari satu teknik ke teknik lainnya, ilmu beladiri diperdalam dan para pendeta ikut mendorong berkembangnya ilmu beladiri TOTE ini.

Gitchin Funakoshi


Kemudian pada tahun 1921 seorang penduduk Okinawa bernama Funakoshi Gitchin memperkenalkan ilmu beladiri TOTE ini di Jepang dan namanya berubah menjadi KARATE, sesuai dengan aksen Jepang dalam cara membaca huruf Kanji, sejak saat itu Karate berkembang dengan pesat di Jepang.
(sumber: Booklet Piala Mendagri XIII & Mendiknas II Tahun 2009)

 
 
 
 
 
 
 
 
 
Sumber: inkanas.org